Monday, July 23, 2007

SULTAN HAMID II ADALAH PERANCANG LAMBANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA.

(By Yayasan Sultan Hamid II Jakarta)

Sepanjang orang Indonesia, siapa tak kenal burung garuda berkalung perisai yang merangkum lima sila (Pancasila), Tapi orang Indonesia mana sajakah yang tahu, siapa pembuat lambang negara itu dulu?

DIA adalah Sultan Hamid II, yang terlahir dengan nama Syarif Abdul Hamid Alkadrie, putra sulung sultan Pontianak; Sultan Syarif Muhammad Alkadrie. Lahir di Pontianak tanggal 12 Juli 1913. Dalam tubuhnya mengalir darah Indonesia, Arab --walau pernah diurus ibu asuh berkebangsaan Inggris. Istri beliau seorang perempuan Belanda yang kemudian melahirkan dua anak --keduanya sekarang di Negeri Belanda.

Syarif Abdul Hamid Alkadrie menempuh pendidikan ELS di Sukabumi, Pontianak, Yogyakarta, dan Bandung. HBS di Bandung satu tahun, THS Bandung tidak tamat, kemudian KMA di Breda, Negeri Belanda hingga tamat dan meraih pangkat letnan pada kesatuan tentara Hindia Belanda.

Ketika Jepang mengalahkan Belanda dan sekutunya, pada 10 Maret 1942, ia tertawan dan dibebaskan ketika Jepang menyerah kepada Sekutu dan mendapat kenaikan pangkat menjadi kolonel. Ketika ayahnya mangkat akibat agresi Jepang, pada 29 Oktober 1945 dia diangkat menjadi sultan Pontianak menggantikan ayahnya dengan gelar Sultan Hamid II.

Dalam perjuangan federalisme, Sultan Hamid II memperoleh jabatan penting sebagai wakil Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) berdasarkan konstitusi RIS 1949 dan selalu turut dalam perundingan-perundingan Malino, Denpasar, BFO, BFC, IJC dan KMB di Indonesia dan Belanda.

Sultan Hamid II kemudian memperoleh jabatan Ajudant in Buitenfgewone Dienst bij HN Koningin der Nederlanden, yakni sebuah pangkat tertinggi sebagai asisten ratu Kerajaan Belanda dan orang Indonesia pertama yang memperoleh pangkat tertinggi dalam kemiliteran.

Pada tanggal 21-22 Desember 1949, beberapa hari setelah diangkat menjadi Menteri Negara Zonder Porto Folio, Westerling yang telah melakukan makar di Tanah Air menawarkan “over commando” kepadanya, namun dia menolak tegas. Karena tahu Westerling adalah gembong APRA. Selanjutnya dia berangkat ke Negeri Belanda, dan pada 2 Januari 1950, sepulangnya dari Negeri Kincir itu dia merasa kecewa atas pengiriman pasukan TNI ke Kalbar - karena tidak mengikutsertakan anak buahnya dari KNIL.

Pada saat yang hampir bersamaan, terjadi peristiwa yang menggegerkan; Westerling menyerbu Bandung pada 23 Januari 1950. Sultan Hamid II tidak setuju dengan tindakan anak buahnya itu, Westerling sempat dimarah.

Sewaktu Republik Indonesia Serikat dibentuk, dia diangkat menjadi Menteri Negara Zonder Porto Folio dan selama jabatan menteri negara itu ditugaskan Presiden Soekarno merencanakan, merancang dan merumuskan gambar lambang negara.

Berdasarkan transkrip rekaman dialog Sultan Hamid II dengan Mas Agung (18 Juli 1974) sewaktu penyerahan file dokumen proses perancangan lambang negara, disebutkan “ide perisai Pancasila” muncul saat Sultan Hamid II sedang merancang lambang negara. Dia teringat ucapan Presiden Soekarno, bahwa hendaknya lambang negara mencerminkan pandangan hidup bangsa, dasar negara Indonesia, di mana sila-sila dari dasar negara, yaitu Pancasila divisualisasikan dalam lambang negara.

Tanggal 10 Januari 1950 dibentuk Panitia Teknis dengan nama Panitia Lencana Negara di bawah koordinator Menteri Negara Zonder Porto Folio Sultan Hamid II dengan susunan panitia teknis terdiri dari M Yamin sebagai ketua, Ki Hajar Dewantoro, M A Pellaupessy, Moh Natsir, dan RM Ng Purbatjaraka sebagai anggota. Panitia ini bertugas menyeleksi usulan rancangan lambang negara untuk dipilih dan diajukan kepada pemerintah berdasarkan perintah Pasal 3 Ayat 3 Konstitusi RIS 1949.

Merujuk keterangan Bung Hatta dalam buku “Bung Hatta Menjawab” 1978 halaman 108 untuk melaksanakan Keputusan Sidang Kabinet tersebut Menteri Priyono melaksanakan sayembara. Terpilih dua rancangan lambang negara terbaik, yaitu karya Sultan Hamid II dan karya M Yamin. Pada proses selanjutnya yang diterima Pemerintah RIS dan DPR RIS adalah rancangan Sultan Hamid II. Sedangkan Karya M Yamin ditolak karena menyertakan sinar-sinar matahari dan menampakkan pengaruh Jepang.sebagaimana pernyataan Moh Hatta; “Patut pula ditambahkan sebagai catatan bahwa lambang dengan tulisan yang mempunyai arti yang demikian mendalam itu, dipadukan menjadi seperti sekarang ini, dengan melalui sayembara waktu RIS dulu dan dilaksanakan oleh Menteri Priyono.banyak gambar yang masuk waktu itu, tetapi yang terbaik akhirnya ada dua buah, satu dari Muhammad Yamin dan yang satu dari Sultan Hamid. Yang diterima oleh Pemerintah dan DPR adalah dari Sultan Hamid, yakni seperti sekarang ini. Adapun dari Muhammad Yamin di tolak. Karena disana ada gambar sinar-sinar matahari dan menampakan sedikit banyak disengaja atau tidak pengaruhj Jepang. Saya berpendapat bahwa apa yang ada sekarang itu, seperti uraian saya sudah tepat dan bernilai abadi bagi kehidupan negara dan bangsa Indonesia” (lihat gambar 2 dan gambar 8)

Pendapat Bung Hatta juga dikuatkan dengan pernyataan G.Soenaryo pada Majalah Forum Keadilan Edisi No 19 Tahun 1990 : “Garuda Pancasila yang merupakan salah satu atribut Negara Indonesia sekarang inipun sejarah lengkap belum terungkap, baik secara populer, apalagi secara ilmiah. Dari sejarah, memang Lambang Negara Republik Indonesia ini merupakan rancangan Sultan Hamid II,”

Pendapat yang senada adalah dari Wartawan Senior Berita Buana, Solichin Salam setelah berwancara dengan Bung Hatta. Menyatakan : “Apabila kita teliti gambar lambang negara kita sekarang ini, maka jelas benar keterangan bung Hatta, bahwa yang dipilih adalah rancangan lambang negara yang dibuat Sultan Hamid II, dengan ada garis tebal yang merupakan ciri khasnya, yaitu Garis Khatulistiwa, Dalam merancang lambang negara ini Sultan Hamid II mempunyai konsultan berkembangsaan Perancis, yakni Ruhl ahli lambang (Semiotic). Sebaliknya Yamin dalam menjalankan tugas, juga berkonsultasi dengan Ruhl”

Ahli sejarah Konstitusi juga menyatakan hal yang sama, AB Kusuma menyatakan 1997 berdasarkan hasil wawancara peneliti (Turiman,SH) dalam tesisnya ha; 90 menyatakan : “Bisa jadi benar bahwa yang membuat gambar lambang negara kita adalah Sultan Hamid II karena pada waktu itu ia dipercayakan oleh Bung Karno menjadi Menteri Negara dan juga menjadi Koordinator Perencanaan Lencana Negara, menurut saya walaupun gambar itu dibuat oleh Menteri Negara RIS Sultan Hamid II, khusus pada bagian lambang-lambang di dalam perisai yang terdapat ditengah lambang negara kita, maka hal itu merupakan perpaduan unsur dari anggota Panitia Lencana Negara. Sebenarnya yang menarik bagi saya dari sisi sejarah konstitusi adalah penjelasan tata urutan gambar-gambar lambang negara di dalam perisai sebagaimana dirumuskan pada pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1951 yang mengatur tentang Lambang Negara, ternyata tata urutan berbeda dengan tata urutan sila-sila Pancasila di dalam Pembukaan UUDS 1950 sebagai dasar hukum dikeluarkan Peraturan Pemerintah tersebut dan hal ini menarik apabila dikaitakan dengan pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen.”

Pendapat lain yang menarik memperkuat pendapat di atas adalah dari Akmal Sutja dalam bukunya Sekitar Pancasila, 1986, halaman 76-77 yang membenarkan pendapat Bung Hatta sebagaimana dinyatakan Bung Hattta pada halaman 108 dan 112 yaitu : “Sampai ada penelitian yang dapat dipercaya hal ini, kiranya dapat diterima saja keterangan dari Bung Hatta, bahwa Sultan Hamid II yang mendapat ilham brilian untuk mengangkat kembali simbol-silmbol asli bangsa Indonesia yang dimuliakan oleh bangsa Indonesia sepanjang sejarahnya, Karena Bung Hatta salas satu seorang pemimpin yang cukup dipercaya yang saat itu menjabat Wakil Presiden, membenarkan pendapat ini, ketimbang praduga berdasarkan latar belakang Muhammad Yamin. “

Pernyataan Drs Akmal Sutja ini yang menjadi inspirasi Turiman Fachturahman Nur,SH,MHum melakukan penelitian ilmiah lebih mendalam di Program Magister Ilmu Hukum UI dalam bentuk penelitian ilmiah dengan judul Tesis: “Sejarah Hukum Lambang Negara Republik Indonesia (Suatu Analisis Yuridis Normatif Tentang Pengaturan Lambang Negara Dalam Peraturan Perundang-Undangan)” dibawah Bimbimgan Prof DR.H, Dimyati Hartono,SH selaku pengasuh mata kuliah Sejarah Hukum dan DR.H Azhary,SH,MH, pengasuh mata kuliah Ilmu Kenegaraan di UI, 1999.

Berbagai pernyataan nara sumber itulah yang diteliti oleh peniliti, dan juga pernyataan Sultan Hamid II sendiri, dalam Pledoi yang dibacakan pada sidang Mahkamah Agung tanggal 23 Maret 1953 yang terkenal dengan “peristiwa Sultan Hamid II, beliau menyatakan “Apakah yang harus dikerjakan? Tindakan apa yang saya dapat ambil ? Sebagai Menteri Negara saya hanya diserahi tugas menyiapkan gendung parlemen dan membikin rencana lambang negara, Sampai saya ditangkap (5 April 1950) dan kemudian ditahan tak ada tugas lain tugas saya”.
Pertanyaannya adalah bagaimana proses perjalanan sejarah perancangan lambang negara Republik Indionesia setelah rancangan Sultah Hamid II diterima oleh Pemerintah dan Parlemen RIS, Tahun 1950 ?

Setelah rancangan terpilih, dialog intensif antara perancang (Sultan Hamid II), Presiden RIS Soekarno dan Perdana Menteri Mohammad Hatta, terus dilakukan untuk keperluan penyempurnaan rancangan itu.Terjadi kesepakatan mereka bertiga, mengganti pita yang dicengkeram Garuda, yang semula adalah pita merah putih menjadi pita putih dengan menambahkan semboyan "Bhineka Tunggal Ika".

Tanggal 8 Februari 1950, rancangan final lambang negara yang dibuat Menteri Negara RIS, Sultan Hamid II diajukan kepada Presiden Soekarno. Rancangan final lambang negara tersebut mendapat masukan dari Partai Masyumi untuk dipertimbangkan, karena adanya keberatan terhadap gambar burung garuda dengan tangan dan bahu manusia yang memegang perisai dan dianggap bersifat mitologis. (lihat gambar 1)

Sultan Hamid II kembali mengajukan rancangan gambar lambang negara yang telah disempurnakan berdasarkan aspirasi yang berkembang, sehingga tercipta bentuk Rajawali-Garuda Pancasila. Disingkat Garuda Pancasila. Presiden Soekarno kemudian menyerahkan rancangan tersebut kepada Kabinet RIS melalui Moh Hatta sebagai perdana menteri.

AG Pringgodigdo dalam bukunya “Sekitar Pancasila” terbitan Dep Hankam, Pusat Sejarah ABRI, 1978, hal 6 menyebutkan, rancangan lambang negara karya Sultan Hamid II akhirnya diresmikan pemakaiannya dalam Sidang Kabinet RIS. Ketika itu gambar bentuk kepala Rajawali Garuda Pancasila masih “gundul” dan “'tidak berjambul”' seperti bentuk sekarang ini seperti pernyataan A;G Pringgdigdo: “Berdasarkan atas pasal 3 Konstitusi itu (RIS) pada tanggal 11 Februari 1950 Pemerintah RIS menetapkan lambang Negara yang berupa lukisan burung garuda dan perisai, yang terbagi dalam 5 ruang yang mengingatkan kepada PANCASILA. Pada waktu itu burung Garuda kepala “gundul”, tidak pakai “jambul” ” (lihat gambar2)., Hal ini berubah dalam Lambang Negara Republik Indonesia Kesatuan yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah Tanggal 17 Oktober 1951 No 66 Tahun 1951” bukankah gambar yang dimaksud adalah rancangan Sultan Hamid II sebagai Menteri Negara Zonder Forto Folio RIS yang terpasang pertama kali di Ruang Sidang Parlemen RIS” 17 Agustus 1949 (lihat gambar2).

Inilah karya kebangsaan anak-anak negeri yang diramu dari berbagai aspirasi dan kemudian dirancang oleh seorang anak bangsa, Sultan Hamid II Menteri Negara RIS. Presiden Soekarno kemudian memperkenalkan untuk pertama kalinya lambang negara itu kepada khalayak umum di Hotel Des Indes Jakarta pada 15 Februari 1950.

Penyempurnaan kembali lambang negara itu terus diupayakan. Kepala burung Rajawali Garuda Pancasila yang “gundul” menjadi “berjambul,” hanya bentuk cakar kaki Garuda Pancasila yang mencengkram pita putih bersemboyan Bhinneka Tunggal Ika masih menghadap ke belakang dan gambar ini masih terus menerus mendapat masukan dari Presiden Soekarno (lihat gambar 3).

Tanggal 20 Maret 1950, bentuk final gambar lambang negara yang telah diperbaiki mendapat disposisi Presiden Soekarno, yang kemudian memerintahkan pelukis istana, Dullah, untuk melukis kembali rancangan tersebut sesuai bentuk final rancangan Menteri Negara RIS Sultan Hamid II yang dipergunakan secara resmi sampai saat ini, sehingga cengkraman kaki Garuda Pancasila menghadap kedepan dan keterangan ini sebagaimana disitir dari Majalah Gatra No 32 Tahun I, 25 Juni 1995 dalam Judul “Bung Karno,Ikan dan Air, yang menyatakan:” ....salah satu bentuk kepercayaan itu ialah permintaan bung Karno kepada Dullah untuk mengubah posisi kaki gambar Pancasila (Peneliti Gambar Lambang Negara yang tadi dirancang kementerian Penerangan, kaki garuda dilukiskan seolah-olah menghadap kebelakang. Dan oleh Dullah dilukis kembali dengan membalik sehingga menghadap kedepan..” (lihat gambar 5), sebagaimana sketsa perbaikan dari Sultan Hamid II yang diserahkan kepada Kementerian Penerangan dan telah disposisi oleh Presiden Sokarno tanggal 20 Maret 1950 (lihat gambar 4).

Untuk terakhir kalinya, Sultan Hamid II menyelesaikan penyempurnaan bentuk final gambar lambang negara, yaitu dengan menambah skala ukuran dan tata warna gambar lambang negara di mana lukisan otentiknya diserahkan kepada H Masagung, Yayasan Idayu Jakarta pada 18 Juli 1974 Rancangan terakhir inilah yang menjadi lampiran resmi PP No 66 Tahun 1951 Tentang Lambang Negara dan berdasarkan pasal 2 jo Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1951 yang menyatakan; “Perbandingan-Perbandingan ukuran adalah menurut gambar tersebut dalam Pasal 6..” dan Pasal 6 PP Nomor 66Tahun 1951 menyatakan “Bentuk warna dan perbandingan ukuran Lambang Negara Republik Indonesia adalah seperti terlukis dalam lampiran pada Peraturan Pemerintah ini”. Bukankah Lambang Negara yang dimaksudkan pada Pasal 2 jo Pasal 6 PP Nomor 66 Tahun 1951 adalah yang diserahkan oleh Sultan Hamid II kepada H. Mas Agung Ketua Yayasan Idayu pada tanggal 18 Juli 1974, (Lihat gambar 6) sedangkan Gambar Lambang Negara yang ada disposisi Presiden Soekarno dan foto gambar lambang negara yang diserahkan ke Presiden Soekarno pada awal Februari 1950 masih tetap disimpan oleh Kraton Kadriyah Pontianak. (lihat gambar 4 dan gambar 3)

Turiman Fachturahman Nur SH M.Hum, Dosen Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura Pontianak yang mengangkat sejarah hukum lambang negara RI sebagai tesis demi meraih gelar Magister Hukum di Universitas Indonesia, menjelaskan bahwa hasil penelitiannya tersebut bisa membuktikan bahwa Sultan Hamid II adalah perancang lambang negara. "Satu tahun yang melelahkan untuk mengumpulkan semua data. Dari tahun 1998-1999," dokumen lambang negara ditelusuri dari berbagai institusi antara lain dari Yayasan Idayu Jakarta, Yayasan Mas Agung Jakarta, Badan Arsip Nasional, Pusat Sejarah ABRI dan tidak ketinggalan Keluarga Istana Kadariah Pontianak, merupakan tempat-tempat yang paling sering disinggahinya untuk mengumpulkan bahan penulisan tesis yang diberi judul Sejarah Hukum Lambang Negara RI (Suatu Analisis Yuridis Normatif Tentang Pengaturan Lambang Negara dalam Peraturan Perundang-undangan).

Di hadapan Dewan penguji, Prof Dr M Dimyati Hartono SH dan Prof Dr H Azhary SH, dia (Turiman SH) berhasil mempertahankan tesisnya itu pada hari Rabu 11 Agustus 1999. "Secara hukum, saya bisa membuktikan. Mulai dari sketsa awal hingga sketsa akhir. Garuda Pancasila adalah rancangan Sultan Hamid II" sebagaimana Lampiran Resmi PP No 66 Tahun 1951 Tentang Lambang Negara berdasarkan pasal 2 jo Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1951 yang menyatakan; “Perbandingan-Perbandingan ukuran adalah menurut gambar tersebut dalam Pasal 6..” dan Pasal 6 PP Nomor 66Tahun 1951 menyatakan “Bentuk warna dan perbandingan ukuran Lambang Negara Republik Indonesia adalah seperti terlukis dalam lampiran pada Peraturan Pemerintah ini”

Saat ini yang menjadi persoalan dan menjadi agenda perjuangan anak bangsa adalah bagaimana Pemerintah RI dan DPR dan Tokoh-Tokoh masyarakat khususnya masyarakat Kalimantan Barat mewujudkan wasiat beliau (Sultah Hamid II), ketika menyerahkan file lambang negara kepada H.Mas Agung, 18 Juli 1974 dan pesan lisan beliau kepada kerabat Kraton/istana Kadariyah Kesultanan Pontianak dimasa hidup beliau.”Mungkin ini adalah yang dapat saya sumbangkan kepada bangsa saya, kamu jangan pasang lambang negara dirumahmu sebelum diakui bahwa gambar itu rancangan Hamid” kemudian pesan tertulis sebagaimana tertera pada tulisan tangan Sultan Hamid II di atas kertas berlogo RTC bertahun 1949 dihadapan H. Mas Agung dan disaksikan sekretaris pribadi Sultan Hamid II. Max Yusuf Alkadrie dan Albert Law di Yayasan Idayu jln Kwitang Jakarta Pusat Nomor 24 Tanggl 18 Juli 1974 menyatakan “.......,mudah-mudahan sumbangan pertama saya ini (buku-buku) ini bermanfaat bagi negara yang dicintai oleh kita “ (lihat file dokumen 9)

Sebenarnya dari rekomendasi Seminar dan Dialog Nasional tentang Lambang Negara yang diadakan di Kota Pontianak Hotel Kapuas Palace Tahun 2000 yang dihadiri Anggota PAH I MPR RI dan Ketua DPR-RI, Pemerintah Daerah Provinsi Kalimatan Barat. DPRD Provinsi Kal-Bar, serta tokoh masyarakat Kalimantan Barat yang sebelumnya diawali dengan pelaksanaan Khaul Sultan Hamid II di istana Kadariyah Pontianak tanggal 30 Maret 2000, sudah ada 2 (dua) agenda yang sudah terwujud, yaitu pertama, Amandemen UUD1945 dengan memasukan Pasal tentang Lambang Negara yaitu Garuda Pancasila berdasarkan hasil seminar tersebut dan kedua, sosialisasi terus menerus setiap tanggal; 1 Juni pada moment lahirnya Pancasila oleh peneliti maupun oleh Universitas Tanjungpura Pontianak yang diinisiator oleh Fakultas Hukum UNTAN, bahkan Korwil ESQ Kal-Bar pada momen Temu Nasional ESQ, Tahun 2006 mengadakan Pameran Dokumen Lambang Negara di Balai Senayan, demikian juga dalam berbagai kesempatan lain, seperti pameran di UNTAN dan di berbagai tempat di Kalimantan Barat.

Namun patut disadari bersama, bahwa masih ada agenda yang tertinggal dan perlu diperjuangkan bersama oleh anak bangsa, yaitu Agenda Ketiga, yaitu: Pengakuan Resmi dari Pemerintah RI dalam hal ini oleh Presiden terpilih dari hasil pemilihan langsung untuk memberikan penghargaan dab pengakuan resmi, bahwa perancang lambang negara RI adalah Sultan Hamid II dalam kapasitas sebagai Menteri Negara RIS 1949-1950 sebagaimana negara mengakui, bahwa pencipta Lagu Indonesia Raya adalah WR Supratman dan penjahit bendera pusaka merah Putih adalah Ibu Fatmawati, tentu Pemerintah RI harus berlaku adil untuk semua anak bangsa yang telah memberikan sumbangsih walaupun secuil seperti Sultan Hamid II, yaitu anak bangsa dari bumi Kalimantan Barat yang merupakan bagian dari Negara Republik Indonesia.

Sultan Hamid II saat ini sudah wafat menghadap Kehadirat Allah SWT pada 30 Maret 1978 di Jakarta dan dimakamkan di pemakaman Keluarga Kesultanan Pontianak di Batulayang, tetapi mana penghargaan Bangsa dan Negara Republik Indonesia kepada beliau, ingat bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai perjalanan sejarahnya siapakah yang peduli dengan pelurusan sejarah bangsa khususna Sejarah Hukum Lambang Negara ini ? jika bukan kita sebagai anak-anak bangsa.


Mewujudkan wasiat anak bangsa yang masih tertinggal di bangsa ini adalah selaras dengan perintah Allah SWT di dalam Al-Qur’an; “Sesungguhnya Allah telah menyuruhmu untuk menyampaikan amanaht kepada yang berhak menerimanya Dan bila kamu menetapkan hukum antara manusia, maka penetapan hukum itu hendaklah adil, bahwa dengan itu Allah telah memberikan pengajaran sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Melihat (QS An Nisaa (4) Ayat 58)

Pada ayat lain Allah SWT menegaskan;”Hai orang-orang yang beriman ! Hendaklah kamu berdiri tegak di atas kebenaran yang adil semata-mata karena Allah dalam memberikan kesaksian dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum sampai mempengaruhi dirimu untuk berlaku tidak adill, Berlaku adillah karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Karena itu bertaqwalah kamu kepada Allah ! Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan (QS Al Maidah (5) Ayat 8).



Jakarta, Senin 9 Juli 2007
Yayasan Sultan Hamid II Jakarta
Ketua Umum,
H. Max Yusuf Alkadrie
Sekretaris,
Turiman Fachturahman Nur, SH.MHum

-------------------------------------
Sepanjang sejarah orang Indonesia, siapa tak kenal burung garuda berkalung perisai yang merangkum lima sila (Pancasila)? Tapi orang Indonesia mana sajakah yang tahu, siapa pembuat lambang negara itu? Perancang dan pembuat lambang negara itu adalah Sultan Hamid II. Dan burung garuda dijadikan lambang negara Republik Indonesia hingga sekarang.

Sunday, July 22, 2007

Naik Delman

Sultan Hamid II dan Pangeran Agung naik Delman. Itu menandakan bahwa saat itu sudah ada alat transportasi berupa delman atau dokar di Pontianak ketika itu.

Foto: Dokumentasi Keluarga

Main Sampan

Sultan Hamid II dan Pangeran Agung main sampan di parit belakang rumah. Parit ini tampak bersih dan asri. Kini parit itu tinggal kenangan, tidak seperti dulu lagi.

Foto: Dokumentasi Keluarga

Menuju Sungai

Sultan Hamid II dengan Pangeran Agung menuju sungai (parit). Keduanya hendak main sampai di parit belakang rumah (istana)

Foto: Dokumentasi Keluarga

Saatnya Santai

Sultan Hamid II semasa kecil memakai baju gamis lagi santai sambil merokok.

Kunjungi Pabrik di Israel

Sultan Hamid II ketika melakukan kunjungan ke sebuah pabrik mesin di Israel. Tanpak Sultan Hamid serius mendengarkan penjelasan dari petugas pabrik mesin.

Foto: Dokumentasi keluarga

Sultan Hamid II dan Prince Bernhard

Sultan Hamid II tanpak sedang berbincang-bincang dengan Prince Bernhard atau Pangeran Bernhard dari Kerajaan Belanda.

Foto: Dokumentasi Keluarga

Thursday, July 19, 2007

Sidang KMB

Suasana sidang Konferensi Meja Bundar (KMB), dimana Sultan Hamid II hadir dalam sidang tersebut. Sidang ini membahas perundingan Indonesia dengan Belanda. Yang akhirnya menentukan kemerdekaan Indonesia dengan kata lain, Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia.
Foto: Dokumentasi keluarga.

HUT Ratu Yuliana

Sultan Hamid II dan rekan-rekan sejawatnya menghadiri resepsi Hari Ulang Tahun (HUT) Ratu Yuliana di Kedutaan Belanda Jalan Diponegoro, Jakarta.

Foto: Dokumentasi keluarga

Menteri Negara

Sultan Hamid II tanpak berbincang-bincang dengan para menteri usai Sidang Kabinet Hatta. Ketika itu, Sultan Hamid II diangkat oleh Presiden Soekarno sebagai salah satu Menteri Negara.
Foto: Dokumentasi keluarga.

Upacara Bendera

Sultan Hamid II memimpin salah satu upacara dengan pakaian Ajudan Ratu dengan Pangkat Mayor Jendral.

Foto: Dokumentasi keluarga.

Wednesday, July 18, 2007

Pelantikan Sultan Hamid II

Gubernur Jendral Van Mook dan istri yang mewakili Ratu Welhelmina, menuju Istana Kadriah Pontianak. Kedatangannya adalah untuk melantik Sultan Hamid II. Sebagai Sultan ke-VII pada tanggal 29 Agustus 1945.

Foto: Dokumentasi keluarga.

Pejabat Tinggi di Kalbar

Pejabat Tinggi di Kalimantan Barat dan undangan saat menghadiri pelantikan Sultan Hamid II.

Foto: Dokumentasi kelaurga.

Rombongan Gubernur Jendral

Gubernur Jendral Van Mook dan rombongan tiba di Pontianak dengan menggunakan pesawat Katalina dengan nama Pontianak mendarat di Sungai Kapuas di depan Kopol Residen.

Foto: Dokumentasi keluarga.

Tugu Khatulistiwa

Inilah Tugu Khatulistiwa yang masih asli. Tanpak pada gambar Ratu Belanda didampingi Sultan Hamid II.
Foto: Dukumentasi Keluarga

Keluarga Besar Kraton Kadriah


Foto Keluarga Besar Kraton Kadriah Pontianak

Foto: Dokumentasi Keluarga

Kraton Kadriah Pontianak


Inilah Kraton Kadriah, cikal-bakal Kota Pontianak dan juga dijadikan pusat pemerintahan pada zaman Kesultanan Pontianak.
Foto: Dokumentasi Keluarga.

Sultan Hamid II Bersama Masagung


Sultan Hamid II bersama H Masagung, pemilik penerbit Gunung Agung, didampingi Syarif Thaha Alkadrie, duduk di Singgasana Istana Kadriah Pontianak.
Foto: By Dokumentasi Keluaga

SBY saat menerima gelar Dato Widya Negara


Surat Kesepakatan Bertiga


Thursday, July 12, 2007

Amanah Sultan Untuk SBY

Mujidi
Borneo Tribune, Pontianak

Memberikan pengakuan resmi terhadap perancang lambang negara “Bhinneka Tunggal Ika” dan dilakukannya perombakan dan pembangunan kembali Istana Kesultanan Kadariah, merupakan dua amanah yang diberikan Sultan Pontianak, Syarif Abubakar Mahmud Alkaldrie pada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat dilaksanakan dzikir bersama di Istana Kadariah, Senin (9/7) kemarin.

Dua amanah tersebut diberikan dengan perantara ketua umum kepengurusan Yayasan Majelis Dzikir SBY ‘Nurussalam’, H. Harris Thahir. Syarif Abubakar Mahmud Alkadrie mengatakan sejak dideklarasikannya kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, pihak kesultanan memutuskan untuk bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Keputusan yang diambil merupakan final dan dijamin tidak akan berubah. Dengan tekad bergabung itulah, salah satu putra terbaik kesultanan Pontianak, Sultan Hamid II memberikan sumbangsih pada Indonesia, yakni berupa rancangan lambang negara “Bhineka Tunggal Ika”.

“Namun sampai saat ini, pemerintah belum memberikan pengakuan secara resmi terhadap perancang lambang negara tersebut,” kata Syarif Abubakar.

Karena belum adanya pengakuan tersebut, Syarif Abubakar menyerahkan duplikat dokumen perancang lambang negara beserta hasil seminar yang telah dilaksanakan pada tanggal 30 Maret 2000 kepada ketua yayasan Majelis Dzikir SBY Nurssalam Jakarta, H. Harris Thahir dengan harapan untuk disampaikan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Selain pengakuan perancang lambang negara “Bhinneka Tunggal Ika”, Sultan Syarif Abubakar memohon pada presiden untuk memperhatikan kondisi Istanah Kadariah. Simbol asal mula berdirinya Kota Pontianak semakin renta, lapuk dimakan usia. Ditakutkan karena kelapukan, gedung bersejarah tersebut hanya sebagai legenda.

Terlebih kata Syarif Abubakar, perjalanan karir Susilo Bambang Yudoyono salah satunya berangkat dari Kesultanan Kadariah. “Untuk mengingatkan kembali, tiga tahun yang lalu, semasa kampanye SBY pernah datang ke Istanah Kadariah dan diberikan gelar sebagai Datok Widya Negara,” ujarnya.

“Jadi bukan saja Istana Negara yang semakin kokoh dan Indah, tapi Istana Kdariah dapat diperindah pula, dengan harapan khazana budaya bangsa dapat dilestarikan,” kata Sultan.

Selain dua amanah yang diberikan pada SBY, melalui Harris Thahir, Sultan juga mengharapkan pemerintah pusat untuk mengganti nama bandara Supadio Pontianak dengan nama bandara Sultan Syarif Abdurrahman.

“Rencana penggantian itu pernah dibicarakan pada tingkat DPRD Provinsi, namun sampai sekarang realisasinya belum ada,” kata Syarif Abubakar.
Tablig tersebut berlangsusung khidmat. Sekitar 7.000 jamaah tumpah di halaman Istana Kadariah. Selain itu, dzikir yang berlangsung kurang lebih dua jam, yang dimulai pukul 11.00-13.00 tersebut juga dihadiri H. Gusti Hersan Aslirosa sebagai Ketua Pengurus Harian Majelis Dzikir SBY Nurussalam Kalimantan Barat dan Habib Abdull Rahman M. Al Habsyi selaku pemimpin dzikir.

Versi cetak diterbitkan Borneo Tribune tanggal 10 Juli 2007

kliping koran (Bahasa Belanda)

Kliping koran tahun 1975

Sultan Hamid II Pencipta Lambang Negara


Budi Rahman
Borneo Tribune, Pontianak

Jejak sejarah karya-karya dan ketauladanan sikap politik Sultan Hamid II belum banyak diketahui oleh khalayak ramai, termasuk warga Kalbar.
Berangkat dari wasiat yang dibuat oleh Sultan Hamid II, sejumlah tokoh dan ahli waris istana hingga kini masih memperjuangkan pengakuan negara untuk karya mantan Menteri Negara Kabinet RIS ini.
Kedatangan Presiden SBY ke Pontianak beberapa hari lalu sebenarnya ingin dijadikan sebagai momen pengakuan pemerintah terhadap karya cipta Sultan Hamid II.
Di ruang Lobby Hotel Kapuas Pontianak saya bertemu dengan sosok-sosok yang masih terus memperjuangkan master piece Sultan van Pontianak itu. Bersama Tanto Yakobus, wartawan senior Borneo Tribune, ada Turiman Fathurrahman yang sudah menjadikan kronik pembuatan lambang negara RI dalam Tesis S-2 nya, Syarif Herry salah satu ahli waris Istana Kadriyah kemudian turut bergabung pula Max Yusuf Alkadrie, sekretaris pribadi Sultan Hamid II yang juga pendiri dan Ketua Yayasan Sultan Hamid II.
Turiman yang juga seorang dosen di Fakultas Hukum Untan terlihat membawa sejumlah dokumen-dokumen otentik tentang lambang negara dan buku-buku yang menguatkan pembuktian Garuda sebagai hasil karya Sultan Hamid II.
Ia mengaku sengaja membawa dan mempersiapkan barang-barang tersebut untuk dapat diajukan ke muka presiden kemarin lusa. Namun sayang nampaknya keinginan masih belum disambut oleh kepala negara.
Ia tidak terlihat berputus asa, kepada saya Turiman meminta dukungan untuk dapat memberitakan perjuangan ini pada khalayak ramai. “Saya ingin kawan-kawan terus mensupport perjuangan kita ini,” pinta dosen yang aktif berorganisasi dan bersosialisasi ini.
“Upaya ini semata-mata bukan untuk kepentingan keluarga istana,” Syarif Herry turut memberi komentar atas upaya Turiman.
Bagi Herry, yang masih memiliki trah bangsawan di Istana Kadriyah, sosok Sultan Hamid II bukan hanya milik keluarga istana, beliau adalah tokoh Kalbar yang telah merintis jalan bagi kiprah putra-putri Kalbar di pentas politik nasional.
Melihat karir dan reputasi Sultan Hamid II di masa-masa awal kemerdekaan tidak meragukan lagi. Beliaulah tokoh Kalbar terdidik yang bisa bertarung dan mewakili Kalbar di pusaran politik Indonesia.
Sultan Hamid II adalah satu-satunya tokoh nasionalis yang mendapat pendidikan militer paling tinggi di Negeri Belanda. Ia alumni Akademi Militer Breda, Belanda. Bahkan menurut penuturan Max Yusuf, Sultan Hamid II mendapat pendidikan militer yang lebih baik dari Raden Dorodjatun, (Sultan Hamengku Bhuwono IX). Sultan Jogja yang sama-sama mendapat pendidikan Belanda. Sultan Hamengku Buwono tidak selesai kuliah di Akademi Militer Breda, ia justru tamat dari Universitas Leiden, Rotterdam, Belanda.
Jika karir politik dan perjuangan Sultan Hamid II bisa ditulis secara obyektif oleh para sejarawan tanah air, dan anak-anak Kalbar tak malas membuka dan menganalisa sejarah para tokoh-tokohnya, mestinya SDM Kalbar hari ini tak bakal kalah saing dari daerah lain.
“Kalau pemerintah bisa mengakui WR. Supratman sebagai pencipta lagu Indonesia Raya kenapa lambang negara tidak,” seru Turiman bertanya atas belum adanya pengakuan dari pemerintah RI atas karya anak bangsanya.
Secara akademis Turiman telah memiliki bukti-bukti ilmiah yang lebih dari cukup. Termasuk bukti-bukti otentik. Turiman menyitir ucapan Bung Hatta yang membenarkan bahwa Sultan Hamid adalah desainer lambang negara.
“Banyak usulan yang masuk dalam sayembara di Menteri Penerangan Priono tapi desain Sultan Hamid II yang paling bagus,” demikian kata Bung Hatta yang ditulis dalam bukunya ‘Akmal Sutja’.
“Mulanya kaki Burung Garuda menggenggam terbalik lambang Bhinneka Tunggal Ika, dan kepalanya masih gundul. Kemudian Sultan Hamid II kembali menyempurnakannya,” terang Turiman.
Belum diakomodirnya asa warga Kalbar untuk melihat Sultan Hamid II diakui sebagai desainer lambang negara membuat saya berpikir ada konspirasi politik pada masa lalu dan masa kini.
Dari buku sejarah yang saya baca di bangku sekolah saya pernah baca bahwa Sultan Hamid II pernah bikin coup d etat pada pemerintahan Soekarno. Saya coba tanyakan hal ini pada Om Max dan Turiman, mereka tidak mengingkari fakta itu, tapi meluruskannya.
“Sultan Hamid II memang pernah punya niat mau menembak Hamengkubuwono IX tapi niat itu ia urungkan, dan ini ia akui di pengadilan. Tapi hukum kolonial yang berlaku masa itu melihat niat meski urung dilakukan sebagai suatu kesalahan yang haru dihukum. Padahal dalam hukum Islam bila orang mengurungkan niat jahat itu mendapat pahala,” terang Turiman. “Akibat kesalahannya Sultan Hamid II menjalani hukuman selama 10 tahun,” kata Turiman lagi.
“Sultan Hamid II itu politisi sejati, ia tidak dendam pada siapapun. Zaman dulu memang ada lawan politik tapi tak ada musuh politik. Musuh inilah yang bikin dendam dan membuat rusak politik sekarang,” Om Max yang mengenal pribadi Sultan Hamid II memberi komentar.
Terasa benar komentar dari politisi beraliran nasionalis ini. Bahkan atas sikapnya yang dianggap keliru Sultan Hamid II pernah meminta maaf pada Bung Karno saat Sang Proklamator terbaring sakit. “Bung maafkan saya,” ujar Max menirukan ucapan Sultan Hamid. “Saya sudah memaafkan sebelum Bung meminta maaf,” kata Bung Karno ditirukan oleh Om Max saat mendampingi Sultan Hamid II menjenguk BK yang sedang sakit.
Secara politik, sebenarnya tak ada alasan untuk menghalangi pengakuan terhadap hasil karya Sultan Hamid II. Namun entah kenapa hingga hari ini tak ada political will dari pemerintah untuk merealisasikan hal ini.
Melihat kenyataan di atas, Bung Tanto yang berhasil menggiring isu Peristiwa Mandor sebagai tragedi kemanusiaan yang berspektrum mondial menawarkan idenya. “Bagaimana kalau kita bikin blogspot?” usulnya kepada sosok-sosok yang konsisten tersebut. “Biar semua orang bisa baca dan tidak lapuk,” ujar Tanto meyakinkan. Mendengar ide jenius Bung Tanto, Syarif Herry, Turiman dan Om Max yang mulai terlihat sepuh itu langsung men-OK kan ide wartawan senior Borneo Tribune tersebut.
Sangat besar teladan yang diberikan oleh Sultan Hamid II, namun sayang generasi sekarang yang alpa sejarah kerap meletakkan Sultan Hamid II di pojok peristiwa yang tidak steril.
Ia kadung dianggap sebagai tokoh makar. Namanya disudutkan, karirnya dihitamkan, padahal berkat karyanya dinding istana dan kantor-kantor pemerintahan di republik ini menjadi berwibawa dengan lambang Garuda Pancasila.
Namun jangan coba cari Lambang Garuda di dinding Istana Kadriyah, tak bakal ketemu. Sultan Hamid telah berwasiat kepada anak cucunya agar jangan memajang lambang negara sebelum negara mengakui hasil karyanya.


Foto: Sultan Hamid II (alm) By Dokumen Keluarga

Versi cetak diterbitkan Borneo Tribune tanggal 12 Juli 2007

Kliping koran (Sinar Harapan)

Kliping Koran Sinar Harapan yang terbit tanggal 23 April 1982

Kliping koran (Pontianak Post)

Surat Pembaca yang diterbitkan Pontianak Post

Kliping koran


Kliping Koran (Kompas)

Kliping koran (Kompas) ini dibuat oleh pihak keluarga alm Sultan Hamid II