Wednesday, October 10, 2007

SULTAN SYARIF KASSIM (1808 - 1819): SANG DIPLOMAT

Oleh Soedarto

Ketika penguasa kesultanan Pontianak, sultan Syarif Abdurrahman, merasa bahwa saat - saat terakhir dari hidupnya telah dekat, beliau meminta kaum kerabatnya, pembesar-pembesar kesultanan serta para pemuka masyarakat untuk berkumpul.
Dalam kesempatan itu sultan meminta agar mereka menerima den mengakui puteranya, Syarif Kassim, yang sejak penaklukan Mempawah di tahun 1787 diangkat sebagai Panembahan Mempawah; untuk menggantikannya sebagai sultan. Para kerabat dan pembesar-pembesar kerajaan itu sesungguhnya merasa enggan untuk menerima Syarif Kassim sebagai pengganti ayahandanya.
Keengganan ini didasarkan pada alasan bahwa meski Syarif Kassim cerdas, berpengalaman dan memiliki pengetahuan luas (hal yang juga dikagumi oleh orang-orang Belanda dan Inggris yang mengenalnya), namun tabiat serta perilakunya yang; kasar dan suka bertindak ugal-ugalan; mereka pandang bisa memberi citra negatif pada diri seorang calon raja. Mereka lebih suka menerima saudara tirinya, Syarif Usman, sebagai sultan, karena budi dan perilakunya yang baik.
Namun mereka tidak memiliki keberanian untuk menyanggah kehendak sultan, lagi pula Syarif Usman telah menyatakan penolakannya, sebagai tanda penghormatannya kepada saudaranya yang lebih tua. Usman hanya bersedia untuk diangkat sebagai Pangeran Ratu.
Maka sepeninggal ayahandanya, Syarif Kassim pun segera dinobatkan sebagai sultan Pontianak yang kedua (1808), lebih pula karena pemerintah Belanda pun segera memberikan persetujuannya.
Syarif Kassim memang telah dikenal secara lugs di kalangan para pejabat Belanda, termasuk mereka yang berada di pusat pemerintahan di Batavia.
Sejak usia muda, ayahandanya, sultan Syarif Abdurrahman, telah memberi tugas padanye untuk menjalankan misi diplomatik, baik ke Batavia maupun ke kerajaan -kerajaan lain di Nusantara.
Tentang kemampuan sultan Pontianak yang kedua ini , seorang pejabat pemerintahan Belanda di Batavia dalam laporannya kepada atasannya, menulis bahwa :
“.... sultan ini (Kassim) adalah orang yang memiliki pengetahuan dan pengalaman yang luas, lebih luas dibandingkan dengan sesama raja Melayu …"
Pernyataan ini juga diperkuat dengan apa yang dilaporkan oleh Elout, salah seorang anggota Komisi Jenderal, yang bertugas mempersiapkan kembalinya kekuasaan Belanda di Indonesia (1816).
Sebagaimana ditulis oleh Van der Kemp (BKI 1920:117-161), Elout antara lain menutukan bahwa:
"Ketika ayahandanya mengirimkannya ke Jawa dalam mini diplomatiknya, ia masih amat muda. Ia banyak memperhatikan dan banyak belajar dari berbagai hal.
Sultan ini kini berusia lima puluh tahun; ia memiliki pengalaman luas, dan setiap hari ia membaca dan belajar tentang banyak hal. Anda bisa berbicara mengenai berbagai hal dengannya, dan bahkan sangat sering hal-hal yang baru dan penemuan--penemuan baru tidaklah asing baginya...."
Sikapnya yang bersahabat dengan pemerintahan East Indian Company yang berkuasa di Indonesia (1811 - 1816) secara tidak langsung telah menyelamatkan kesultanan Pontianak dari rongrongan Inggris, padahal pada saat yang bersamaan Inggris bertindak keras terhadap kesultanan Sambas, dengan mengirimkan pasukan-pasukan Sepoy yang membakar habis ibukota kesultanan itu (1912), sebagai tindakan balas dendam atas perampasan kapal dagang EIC "Commerce" oleh armada kesultanan Sambas di penghujung abad XVIII. Padahal, kapal-kapal bersenjata kesultanan Pontianak pun pernah juga mengganggu lalu lintas kapal-kapal dagang Inggris yang berlayar dari Sukadana.
Diplomasi yang cerdik juga dilakukan oleh Sultan Syarif Kassim terhadap negara-negara tetangganya. Ia misalnya mempersilakan putera dari Gusti Jamiril, Panembahan Mempawah yang dilengserkannya dalam penaklukan Mempawah (1787), untuk kembali ke Mempawah dari tempat dimana selama itu ia bersama kaum kerabatnya menyingkir; serta mengangkatnya kembali sebagai panembahan untuk menggantikannya, ketika ia diangkat menjadi sultan Pontianak (1808).
Menyadari bahwa perekonomian kesultanan Pontianak untuk sebagian besar tergantung pada kelancaran pasokan produk-produk daerah-daerah hulu sungai Kapuas, Syarif Kassim tidak merasa risih untuk menjalin hubungan persahabatan dengan-kerajaan Sanggau yang dahulu pernah dikalahkan ayahandanya. (Archipel 1:291).
Kearifan diplomatik serupa juga ditunjukkannya terhadap panembahan kerajaan Matan, yang semasa masih menjadi penguasa di Sukadana, pernah diserang oleh kesultanan Pontianak bersama-sama armada VOC.
Panembahan kerajaan Matan diundangnya untuk berkunjung ke Pontianak, dimana ia diterima dengan segala kehormatan.
Sekali pun kesultanan Pontianak (sebagaimana halnya dengan kerajaan-kerajatan lain
di Nusantara) telah terpaksa ataupun dipaksa untuk menerima dan mengakui pertuanan (overlordship) kerajaan Belanda atas mereka, namun para sejarawan modern memberikan penilaian khusus terhadap kasus tunduknya kesultanan Pontianak kepada Belanda. Kesultanan Pontianak, menurut kajian para sejarawan itu, bukan tunduk karena dikalahkan oleh kekuatan militer Belanda, tidak pula melalui penghancuran dari dalam oleh intrik-intrik istana yang diotaki Belanda; akan tetapi kesultanan Pontianak mengakhiri dan menerima kehadiran Belanda untuk membantu menjamin dan mengukuhkan eksistensinya sebagai sebuah kerajaan, mengingat bahwa ketika kesultanan ini berdiri, ia tidak memiliki "modal" wilayah yang benar-benar menjadi miliknya. Kesultanan Pontianak berdiri di atas daerah yang sesungguhnya milik kerajaan Landak (yang ketika itu tunduk kepada kekuasaan kesultanan Banten), meskipun daerah itu tidak pernah diurus oleh yang empunya. Inilah yang mendorong pendiri kesultanan Pontianak berusaha mendapatkan dukungan dan pengakuan dari pihak Belanda (VOC) yang oleh Syarif Abdurrahman dianggap sebagai kekuatan yang mampu menandingi Banten ketika itu.
Upaya-upaya diplomatik yang dilakukannya, khususnya dengan mengutus puteranya untuk melobi pejabat-pejabat VOC di Batavia berbuah dengan kunjungan Nicolaas Kloek ke Pontianak untuk melakukan investigasi atas permasalahan yang ada (1178), dan setahun kemudian oleh kunjungan residen Willem Adriaan Palm, yang membuat akta pengukuhan atas kesultanan Pontianak, dan sekaligus juga pengakuan kesultanan Pontianak atas pertuanan kerajaan Belanda.

Drs. H. Soedarto
Pemerhati Sejarah dan Pendidikan
Pontianak
Versi cetak muat di harian Borneo Tribune, tanggal 6 Oktober 2007