Budi Rahman
Borneo Tribune, Pontianak
Jejak sejarah karya-karya dan ketauladanan sikap politik Sultan Hamid II belum banyak diketahui oleh khalayak ramai, termasuk warga Kalbar.
Berangkat dari wasiat yang dibuat oleh Sultan Hamid II, sejumlah tokoh dan ahli waris istana hingga kini masih memperjuangkan pengakuan negara untuk karya mantan Menteri Negara Kabinet RIS ini.
Kedatangan Presiden SBY ke Pontianak beberapa hari lalu sebenarnya ingin dijadikan sebagai momen pengakuan pemerintah terhadap karya cipta Sultan Hamid II.
Di ruang Lobby Hotel Kapuas Pontianak saya bertemu dengan sosok-sosok yang masih terus memperjuangkan master piece Sultan van Pontianak itu. Bersama Tanto Yakobus, wartawan senior Borneo Tribune, ada Turiman Fathurrahman yang sudah menjadikan kronik pembuatan lambang negara RI dalam Tesis S-2 nya, Syarif Herry salah satu ahli waris Istana Kadriyah kemudian turut bergabung pula Max Yusuf Alkadrie, sekretaris pribadi Sultan Hamid II yang juga pendiri dan Ketua Yayasan Sultan Hamid II.
Turiman yang juga seorang dosen di Fakultas Hukum Untan terlihat membawa sejumlah dokumen-dokumen otentik tentang lambang negara dan buku-buku yang menguatkan pembuktian Garuda sebagai hasil karya Sultan Hamid II.
Ia mengaku sengaja membawa dan mempersiapkan barang-barang tersebut untuk dapat diajukan ke muka presiden kemarin lusa. Namun sayang nampaknya keinginan masih belum disambut oleh kepala negara.
Ia tidak terlihat berputus asa, kepada saya Turiman meminta dukungan untuk dapat memberitakan perjuangan ini pada khalayak ramai. “Saya ingin kawan-kawan terus mensupport perjuangan kita ini,” pinta dosen yang aktif berorganisasi dan bersosialisasi ini.
“Upaya ini semata-mata bukan untuk kepentingan keluarga istana,” Syarif Herry turut memberi komentar atas upaya Turiman.
Bagi Herry, yang masih memiliki trah bangsawan di Istana Kadriyah, sosok Sultan Hamid II bukan hanya milik keluarga istana, beliau adalah tokoh Kalbar yang telah merintis jalan bagi kiprah putra-putri Kalbar di pentas politik nasional.
Melihat karir dan reputasi Sultan Hamid II di masa-masa awal kemerdekaan tidak meragukan lagi. Beliaulah tokoh Kalbar terdidik yang bisa bertarung dan mewakili Kalbar di pusaran politik Indonesia.
Sultan Hamid II adalah satu-satunya tokoh nasionalis yang mendapat pendidikan militer paling tinggi di Negeri Belanda. Ia alumni Akademi Militer Breda, Belanda. Bahkan menurut penuturan Max Yusuf, Sultan Hamid II mendapat pendidikan militer yang lebih baik dari Raden Dorodjatun, (Sultan Hamengku Bhuwono IX). Sultan Jogja yang sama-sama mendapat pendidikan Belanda. Sultan Hamengku Buwono tidak selesai kuliah di Akademi Militer Breda, ia justru tamat dari Universitas Leiden, Rotterdam, Belanda.
Jika karir politik dan perjuangan Sultan Hamid II bisa ditulis secara obyektif oleh para sejarawan tanah air, dan anak-anak Kalbar tak malas membuka dan menganalisa sejarah para tokoh-tokohnya, mestinya SDM Kalbar hari ini tak bakal kalah saing dari daerah lain.
“Kalau pemerintah bisa mengakui WR. Supratman sebagai pencipta lagu Indonesia Raya kenapa lambang negara tidak,” seru Turiman bertanya atas belum adanya pengakuan dari pemerintah RI atas karya anak bangsanya.
Secara akademis Turiman telah memiliki bukti-bukti ilmiah yang lebih dari cukup. Termasuk bukti-bukti otentik. Turiman menyitir ucapan Bung Hatta yang membenarkan bahwa Sultan Hamid adalah desainer lambang negara.
“Banyak usulan yang masuk dalam sayembara di Menteri Penerangan Priono tapi desain Sultan Hamid II yang paling bagus,” demikian kata Bung Hatta yang ditulis dalam bukunya ‘Akmal Sutja’.
“Mulanya kaki Burung Garuda menggenggam terbalik lambang Bhinneka Tunggal Ika, dan kepalanya masih gundul. Kemudian Sultan Hamid II kembali menyempurnakannya,” terang Turiman.
Belum diakomodirnya asa warga Kalbar untuk melihat Sultan Hamid II diakui sebagai desainer lambang negara membuat saya berpikir ada konspirasi politik pada masa lalu dan masa kini.
Dari buku sejarah yang saya baca di bangku sekolah saya pernah baca bahwa Sultan Hamid II pernah bikin coup d etat pada pemerintahan Soekarno. Saya coba tanyakan hal ini pada Om Max dan Turiman, mereka tidak mengingkari fakta itu, tapi meluruskannya.
“Sultan Hamid II memang pernah punya niat mau menembak Hamengkubuwono IX tapi niat itu ia urungkan, dan ini ia akui di pengadilan. Tapi hukum kolonial yang berlaku masa itu melihat niat meski urung dilakukan sebagai suatu kesalahan yang haru dihukum. Padahal dalam hukum Islam bila orang mengurungkan niat jahat itu mendapat pahala,” terang Turiman. “Akibat kesalahannya Sultan Hamid II menjalani hukuman selama 10 tahun,” kata Turiman lagi.
“Sultan Hamid II itu politisi sejati, ia tidak dendam pada siapapun. Zaman dulu memang ada lawan politik tapi tak ada musuh politik. Musuh inilah yang bikin dendam dan membuat rusak politik sekarang,” Om Max yang mengenal pribadi Sultan Hamid II memberi komentar.
Terasa benar komentar dari politisi beraliran nasionalis ini. Bahkan atas sikapnya yang dianggap keliru Sultan Hamid II pernah meminta maaf pada Bung Karno saat Sang Proklamator terbaring sakit. “Bung maafkan saya,” ujar Max menirukan ucapan Sultan Hamid. “Saya sudah memaafkan sebelum Bung meminta maaf,” kata Bung Karno ditirukan oleh Om Max saat mendampingi Sultan Hamid II menjenguk BK yang sedang sakit.
Secara politik, sebenarnya tak ada alasan untuk menghalangi pengakuan terhadap hasil karya Sultan Hamid II. Namun entah kenapa hingga hari ini tak ada political will dari pemerintah untuk merealisasikan hal ini.
Melihat kenyataan di atas, Bung Tanto yang berhasil menggiring isu Peristiwa Mandor sebagai tragedi kemanusiaan yang berspektrum mondial menawarkan idenya. “Bagaimana kalau kita bikin blogspot?” usulnya kepada sosok-sosok yang konsisten tersebut. “Biar semua orang bisa baca dan tidak lapuk,” ujar Tanto meyakinkan. Mendengar ide jenius Bung Tanto, Syarif Herry, Turiman dan Om Max yang mulai terlihat sepuh itu langsung men-OK kan ide wartawan senior Borneo Tribune tersebut.
Sangat besar teladan yang diberikan oleh Sultan Hamid II, namun sayang generasi sekarang yang alpa sejarah kerap meletakkan Sultan Hamid II di pojok peristiwa yang tidak steril.
Ia kadung dianggap sebagai tokoh makar. Namanya disudutkan, karirnya dihitamkan, padahal berkat karyanya dinding istana dan kantor-kantor pemerintahan di republik ini menjadi berwibawa dengan lambang Garuda Pancasila.
Namun jangan coba cari Lambang Garuda di dinding Istana Kadriyah, tak bakal ketemu. Sultan Hamid telah berwasiat kepada anak cucunya agar jangan memajang lambang negara sebelum negara mengakui hasil karyanya.
Borneo Tribune, Pontianak
Jejak sejarah karya-karya dan ketauladanan sikap politik Sultan Hamid II belum banyak diketahui oleh khalayak ramai, termasuk warga Kalbar.
Berangkat dari wasiat yang dibuat oleh Sultan Hamid II, sejumlah tokoh dan ahli waris istana hingga kini masih memperjuangkan pengakuan negara untuk karya mantan Menteri Negara Kabinet RIS ini.
Kedatangan Presiden SBY ke Pontianak beberapa hari lalu sebenarnya ingin dijadikan sebagai momen pengakuan pemerintah terhadap karya cipta Sultan Hamid II.
Di ruang Lobby Hotel Kapuas Pontianak saya bertemu dengan sosok-sosok yang masih terus memperjuangkan master piece Sultan van Pontianak itu. Bersama Tanto Yakobus, wartawan senior Borneo Tribune, ada Turiman Fathurrahman yang sudah menjadikan kronik pembuatan lambang negara RI dalam Tesis S-2 nya, Syarif Herry salah satu ahli waris Istana Kadriyah kemudian turut bergabung pula Max Yusuf Alkadrie, sekretaris pribadi Sultan Hamid II yang juga pendiri dan Ketua Yayasan Sultan Hamid II.
Turiman yang juga seorang dosen di Fakultas Hukum Untan terlihat membawa sejumlah dokumen-dokumen otentik tentang lambang negara dan buku-buku yang menguatkan pembuktian Garuda sebagai hasil karya Sultan Hamid II.
Ia mengaku sengaja membawa dan mempersiapkan barang-barang tersebut untuk dapat diajukan ke muka presiden kemarin lusa. Namun sayang nampaknya keinginan masih belum disambut oleh kepala negara.
Ia tidak terlihat berputus asa, kepada saya Turiman meminta dukungan untuk dapat memberitakan perjuangan ini pada khalayak ramai. “Saya ingin kawan-kawan terus mensupport perjuangan kita ini,” pinta dosen yang aktif berorganisasi dan bersosialisasi ini.
“Upaya ini semata-mata bukan untuk kepentingan keluarga istana,” Syarif Herry turut memberi komentar atas upaya Turiman.
Bagi Herry, yang masih memiliki trah bangsawan di Istana Kadriyah, sosok Sultan Hamid II bukan hanya milik keluarga istana, beliau adalah tokoh Kalbar yang telah merintis jalan bagi kiprah putra-putri Kalbar di pentas politik nasional.
Melihat karir dan reputasi Sultan Hamid II di masa-masa awal kemerdekaan tidak meragukan lagi. Beliaulah tokoh Kalbar terdidik yang bisa bertarung dan mewakili Kalbar di pusaran politik Indonesia.
Sultan Hamid II adalah satu-satunya tokoh nasionalis yang mendapat pendidikan militer paling tinggi di Negeri Belanda. Ia alumni Akademi Militer Breda, Belanda. Bahkan menurut penuturan Max Yusuf, Sultan Hamid II mendapat pendidikan militer yang lebih baik dari Raden Dorodjatun, (Sultan Hamengku Bhuwono IX). Sultan Jogja yang sama-sama mendapat pendidikan Belanda. Sultan Hamengku Buwono tidak selesai kuliah di Akademi Militer Breda, ia justru tamat dari Universitas Leiden, Rotterdam, Belanda.
Jika karir politik dan perjuangan Sultan Hamid II bisa ditulis secara obyektif oleh para sejarawan tanah air, dan anak-anak Kalbar tak malas membuka dan menganalisa sejarah para tokoh-tokohnya, mestinya SDM Kalbar hari ini tak bakal kalah saing dari daerah lain.
“Kalau pemerintah bisa mengakui WR. Supratman sebagai pencipta lagu Indonesia Raya kenapa lambang negara tidak,” seru Turiman bertanya atas belum adanya pengakuan dari pemerintah RI atas karya anak bangsanya.
Secara akademis Turiman telah memiliki bukti-bukti ilmiah yang lebih dari cukup. Termasuk bukti-bukti otentik. Turiman menyitir ucapan Bung Hatta yang membenarkan bahwa Sultan Hamid adalah desainer lambang negara.
“Banyak usulan yang masuk dalam sayembara di Menteri Penerangan Priono tapi desain Sultan Hamid II yang paling bagus,” demikian kata Bung Hatta yang ditulis dalam bukunya ‘Akmal Sutja’.
“Mulanya kaki Burung Garuda menggenggam terbalik lambang Bhinneka Tunggal Ika, dan kepalanya masih gundul. Kemudian Sultan Hamid II kembali menyempurnakannya,” terang Turiman.
Belum diakomodirnya asa warga Kalbar untuk melihat Sultan Hamid II diakui sebagai desainer lambang negara membuat saya berpikir ada konspirasi politik pada masa lalu dan masa kini.
Dari buku sejarah yang saya baca di bangku sekolah saya pernah baca bahwa Sultan Hamid II pernah bikin coup d etat pada pemerintahan Soekarno. Saya coba tanyakan hal ini pada Om Max dan Turiman, mereka tidak mengingkari fakta itu, tapi meluruskannya.
“Sultan Hamid II memang pernah punya niat mau menembak Hamengkubuwono IX tapi niat itu ia urungkan, dan ini ia akui di pengadilan. Tapi hukum kolonial yang berlaku masa itu melihat niat meski urung dilakukan sebagai suatu kesalahan yang haru dihukum. Padahal dalam hukum Islam bila orang mengurungkan niat jahat itu mendapat pahala,” terang Turiman. “Akibat kesalahannya Sultan Hamid II menjalani hukuman selama 10 tahun,” kata Turiman lagi.
“Sultan Hamid II itu politisi sejati, ia tidak dendam pada siapapun. Zaman dulu memang ada lawan politik tapi tak ada musuh politik. Musuh inilah yang bikin dendam dan membuat rusak politik sekarang,” Om Max yang mengenal pribadi Sultan Hamid II memberi komentar.
Terasa benar komentar dari politisi beraliran nasionalis ini. Bahkan atas sikapnya yang dianggap keliru Sultan Hamid II pernah meminta maaf pada Bung Karno saat Sang Proklamator terbaring sakit. “Bung maafkan saya,” ujar Max menirukan ucapan Sultan Hamid. “Saya sudah memaafkan sebelum Bung meminta maaf,” kata Bung Karno ditirukan oleh Om Max saat mendampingi Sultan Hamid II menjenguk BK yang sedang sakit.
Secara politik, sebenarnya tak ada alasan untuk menghalangi pengakuan terhadap hasil karya Sultan Hamid II. Namun entah kenapa hingga hari ini tak ada political will dari pemerintah untuk merealisasikan hal ini.
Melihat kenyataan di atas, Bung Tanto yang berhasil menggiring isu Peristiwa Mandor sebagai tragedi kemanusiaan yang berspektrum mondial menawarkan idenya. “Bagaimana kalau kita bikin blogspot?” usulnya kepada sosok-sosok yang konsisten tersebut. “Biar semua orang bisa baca dan tidak lapuk,” ujar Tanto meyakinkan. Mendengar ide jenius Bung Tanto, Syarif Herry, Turiman dan Om Max yang mulai terlihat sepuh itu langsung men-OK kan ide wartawan senior Borneo Tribune tersebut.
Sangat besar teladan yang diberikan oleh Sultan Hamid II, namun sayang generasi sekarang yang alpa sejarah kerap meletakkan Sultan Hamid II di pojok peristiwa yang tidak steril.
Ia kadung dianggap sebagai tokoh makar. Namanya disudutkan, karirnya dihitamkan, padahal berkat karyanya dinding istana dan kantor-kantor pemerintahan di republik ini menjadi berwibawa dengan lambang Garuda Pancasila.
Namun jangan coba cari Lambang Garuda di dinding Istana Kadriyah, tak bakal ketemu. Sultan Hamid telah berwasiat kepada anak cucunya agar jangan memajang lambang negara sebelum negara mengakui hasil karyanya.
Foto: Sultan Hamid II (alm) By Dokumen Keluarga
Versi cetak diterbitkan Borneo Tribune tanggal 12 Juli 2007
2 comments:
Sultan Hamid bukanlah satu-satunya tokoh nasionalis yang menamatkan pendidikan militer di KMA Breda, masih ada yang lain misalnya Poerbonegoro (kakak Djatikusumo) yang menolak masuk KNIL lagi tahun 1945, Suryadarma (sering juga ditulis Soeriadarma) yang menjadi KSAU pertama RI.
Untuk daftar lengkapnya bisa dilihat di buku "Buku Kenang-kenangan Alumni KMA Breda", atau buku Harsya Bachtiar "Siapa dia perwira tinggi Indonesia).
info yg bagus sekali bro kebetulan saya juga dari kalbar ,izi follow dan copypaste kalau boleh trims banget
Post a Comment